RELEVANSI AJARAN BUDHA DAN TASAWUF
DOI:
https://doi.org/10.51498/putih.v2i1.49Keywords:
Budha, TasawufAbstract
Tasawuf ibaratnya adalah ruh dari sebuah agama khusunya agama islam. Dengan tasawuf-lah seseorang dapat mengenali siapa dirinya dan dapat dijadikan sebagai refleksi degredasinya Akhlak seperti zaman sekarang. Tasawuf Dari segi linguistik (kebahasaan) dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia. Tasawuf beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup zuhud (menjauhi kemewahan duniawi) sehingga pada hidup yang modern. Dalam rangka menyucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup tersebut, diperlukan suatu riyadhah (latihan) dari satu tahap ke tahap yang lain yang lebih tinggi. Jadi, kesempurnaan rohani tidaklah dapat dicapai secara spontan dan sekaligus. Semua sufi sependapat bahwa untuk mencapai tujuan dekat atau berada di hadirat Allah swt. Satu-satunya jalan hanyalah dengan kesucian jiwa. Untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa diperlukan pendidilan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat. Masyarakat modern sering digolongkan sebagai the post industrial society, suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat kemakmuaran hidup material yang sedemikian rupa, dengan perangkat teknologi yang serba mekanik dan otomat, manusia modern bukannya semakin mendekati kebahagian hidup, melainkan sebaliknya seringkali dihinggapi rasa cemas, tidak percaya diri dan krisis moral akibat mewahnya gaya hidup marealistik yang didapat., maka pelarian dan pencarian kepada kehidupan lain sebagaimana yang terdapat dalam tasawuf atau mistik adalah hal yang mungkin saja terjadi. Karena di sini mereka akan dapat melepaskan kejenuhan atau mengisi kekosongan jiwa setelah dunia modern mereka gapai dengan terpenuhinya kebutuhan materi yang didapat dengan mudah tersebut. Dalam kehidupan modern, tasawuf menjadi obat yang mengatasi krisis kerohanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari hidupnya. Ketidak jelasan atas makna dan tujuan hidup ini membuat penderitaan batin. Mereka lewat spritualitas islam lading kering jadi tersirami air sejuk dan memberikan penyegaran serta mengarahkan hidup lebih baik dan jelas arah tujuannya. Namun menurut sebuah ungkapan ulama mengatakan ilmu tasawuf juga harus beriring imbang dengan syariat begitu sebaliknya, tidak patut hanya bertasawuf tanpa bersyariat terlebih dahulu. Ukuran bersyariat ini. Menurut Syaikh Ahmad Asrori adalah jika kau sudah paha akan hukum yang saat ini dibutuhkan bukan kok harus hatam fathulk muin atau kitab-kitab fiqih yang besar-besar. Maka dari itu tolok ukur bertasawuf ialah jika kau sudah mampu memahami apa itu yang membatalkan wudhu. Inilah yang di sebut sudah bersyariat. Karena memandang tasawuf merupakan unsur inti dari agama islam serta memberikan dampak yang jelas akan kemajuan islam maka Belajar tasawuf yang sangat penting bagi umat Islam bukan pekerjaan yang mudah dilakukan. Dari segi asal-muasal kata saja, sering terjadi pro dan kontra. Belum lagi aplikasi praktisnya untuk menjalani kehidupan ala tasawuf itu sendiri. Ilmu tasawuf bukan hanya teori, melainkan juga praktik. Berbagai pendapat yang sering membingungkan adalah apakah tasawuf itu sesat (mistik dari luar Islam) atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam. Tulisan ini mengajak pembaca untuk bersama-sama meyakinkan bahwa ajaran tasawuf itu murni dari ajaran Islam bukan pengaruh dari luar Islam. Pemikiran dan praktek tasawuf yang dihasilkan dari pemahaman terhadap al-Qur’an dan al-Hadits berbeda dengan pemikiran bebas yang tidak bersumber dari keduanya. Dari sinilah para orientalis mencoba menyusupi pemikiran para generasi muda bahwa ajaran tasawuf hanyalah adopsi dari ajaran Budha dan agama lain, dengan cara yang sangat rapi dan terkesan bahwa itu sungguhan mereka juga meneragkan berbagai dalil yang dibua-buat untuk mendukung rencana akbar ini.Downloads
References
Maqdisi (al), Ibnu qudamah, Muhktashar Minhajul Qashidin Jakarta: Darul Haq, 2015.
Ghazali (al), Imam, ‘Ibadah Perspektif Sufistik, terj. Muhtar Holland, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
--------------, Ihya’ Ulumuddin, Maktabah Usaha Keluarga Semarang, Tth.
Jullabi Al-Hujwiri (al), Ali Uthman, The Kashf al-Mahjub; The Oldest Persian Tretise on Sufism, London: Lucaz & Co. Ltd, 1970.
Ishaqy Asrori (al), Achmad. An Nuqhtah Wal Baaqiyatush Sholihat Wal ‘Aaqibatul Khoirot Wal Khootimatul Hasanat.
Gymnastiar, Abdullah, Mencari Ketenangan Jiwa, terj. Ainun Najah Ali, Mustread Sdn.Bhd., Kuala Lumpur, cet. Ke-2, 2011.
Hawa, Sa’id, al-Mustakhlash Fi Tazkiyah al-Nafs, Kairo: Dar al-Salam, 2001.
Jamal al-Din Ibn Muhammad Ibn Makram Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 16, Beirut: Dar Sadir.
Madjid, Nurcholis Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar,jld.2, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1998.
Mahfuzah Shafiei, Siti, “Konsep Tazkiyyah Al-Nafs Dari Sudut Tasawuf Menurut Pandangan Al-Muhasibi”, Latihan Ilmiah, Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam,Bahagian Pengajian Usuluddin, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 2001/2002.
Nata, Abuddin Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2006.
Rejab, Rushita, “Tazkiyyah al-Nafs : konsep dan keberkesanannya di kalangan Mahasiswa Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya”, Disertasi,Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam,Bahagian Pengajian Usuluddin, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 2000/2001.
Saifuddin Aman, Ahmad, Tasawuf Refolusi Mental-DzikirMengelolah Jiwa dan Raga, Tangerang 2014.
Shaleh al-Munjid, Muhammad, Silsilah A’mal al-Qulub., Kairo Daral-Fajri Cet. I 2005.
Syukur, Amin, Terapi Hati, Jakarta Erlangga, 2012.
Umar bin Muhammad al-Hafidz, Mengendalikan Nafsu dan Membentuk Budi Pekerti, Surabaya: Cahaya Ilmu, 2012.